PESAN DAMAI ISRA' MI'RAJ
Dr. Zaprulkhan. M.S.I-Inspiring Learner
Salah satu hadiah
teragung yang Allah anugerahkan kepada kekasih pilihan-Nya, Nabi Muhammad Saw
dalam peristiwa fenomenal Isra' mi'raj adalah shalat lima waktu. Lazimnya kita
memandang shalat sebagai sebuah ibadah yang bersifat personal-individual
semata, tentang hubungan intim kita dengan Allah Swt secara langsung.
Kebanyakan kita lebih cenderung memaknai shalat hanya sebagai bentuk ibadah
yang bercorak spiritual belaka tanpa mempunyai implikasi sosial. Padahal jika
kita lihat secara holistik, shalat bukan hanya ibadah yang bersifat pribadi
tentang pengabdian kita kepada Tuhan, tapi juga memiliki implikasi sosial dalam
kehidupan bermasyarakat.
Di dalam ibadah shalat
bukan hanya merepresentasikan hubungan vertikal antara seorang hamba kepada
Tuhan (hablum minallah), melainkan juga mencerminkan hubungan horizontal
antara sesama umat manusia (hablum minannas). Di dalam ibadah shalat
terkandung pula pesan-pesan kedamaian, solidaritas sosial, dan kasih sayang
universal kepada umat manusia yang sangat relevan bagi kondisi kebangsaan kita
hari ini. Sebab akhir-akhir ini, bangsa kita tercabik dengan puspa ragam
kekerasan demi kekerasan yang mengoyak tali persaudaraan di antara kita. Karena
itu, mari kita bingkai makna ibadah shalat dalam konteks Isra' Mi'raj dengan
menurunkannya secara fungsional bagi problematika yang tengah menggelayuti
kehidupan berbangsa kita.
Pertama, secara simbolik, shalat mencakup aktivitas
yang dimulai dengan takbiratul al-ihram, yakni mengucapkan kalimat Allahu
Akbar yang merupakan pengharaman atas segala tindakan yang yang berdimensi
horizontal (hablum minannas). Asumsinya, semua tindakan yang berdimensi
horizontal diharamkan agar kita dapat memusatkan perhatian kita kepada Allah semata
saat beraudiensi denganNya. Dengan pemusatan diri kepada Allah semata, diharapkan
setiap kita bisa mencapai maqam ihsan, bahwa kita menyembah Allah
seolah-olah melihatNya dan seandainya pun kita tidak mampu melihatNya, kita
harus tetap yakin bahwa Dia melihat kita.
Itulah shalat yang
khusyuk yakni shalat yang mampu menghadirkan kesadaran adanya komunikasi yang
sangat intensif antara kita dengan Allah; Sebuah kesadaran prinsipil bahwa
hanya Allah tempat kita bernaung, tempat kita memohon, tempat kita melabuhkan
segala prolematikan kehidupan, sekaligus muara yang mengabulkan segala
damba-damba kita. Itulah alasannya setiap gerakan dalam shalat selalu diiringi
dengan kalimat Allahu Akbar. Pengulangan kalimat tersebut bermakna sebagai
penegasan bahwa Dia Maha Besar tanpa bisa dibandingkan. Dia lebih besar dari
penyerupaan apa pun yang dapat kita pakai untuk menyempurnakan pernyataan itu,
lebih besar dari apapun dan segala sesuatu yang dapat kita bayangkan, lebih
besar dari spekulasi kaum teolog atau penegasan kaum dogmatis atau formulasi
para filosof, bahkan lebih besar dari yang bisa digambarkan oleh perbendaharaan
kata manusia.
Dengan kesadaran
sakral ini, kita mengerti bahwa jika Allah lebih besar, lebih pengasih, lebih
penyayang, lebih berkuasa, lebih pemurah, lebih adil, lebih dekat dengan kita,
lebih mencintai, lebih bijaksana, dan lebih mengetahui tanpa batas tentang
segala fenomena kehidupan, maka bukankah hanya Allah semata tempat kita
bersandar? Dalam pengertian inilah, penghayatan ibadah shalat kita benar-benar
memasuki dimensi vetikal yang sangat intim, dekat, dan intensif dengan Tuhan
kita.
Namun ibadah shalat
kita tidak boleh hanya berhenti sampai tahapan vertikal saja, kita harus
memasuki tahapan kedua yaitu tahapan horizontal. Tahapan horizontal ini
diisyaratkan pada akhir ibadah shalat dengan mengucapkan salam, assalamu
'alaikum sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Ucapan salam yang
kita ucapkan diakhir ibadah shalat itu mengandung makna sebagai doa untuk
keselamatan terhadap orang-orang di sekitar kita. Bahkan dalam perspektif kaum
sufi, ucapan salam penutup shalat itu bukan hanya verbalisme belaka, melainkan dalam
lubuk hati kita benar-benar mengharapkan kesejahteraan bagi umat manusia, para
malaikat-malaikat-Nya, bahkan seluruh binatang yang melata di jagad raya.
Karena itu, dalam
konteks kemanusiaan, melalui ucapan salam itu setiap kaum Muslim
dituntut untuk melakukan solidaritas sosial kepada orang-orang di depan dan di
belakang kita, di kanan dan di kiri kita, serta kita mengharapkan kebahagiaan
orang lain dan tidak rela bila hanya menikmati kebahagiaan sendirian saja.
Dengan kata lain, salam penutup dalam ibadah shalat adalah lambang
solidaritas sosial, lambang kesetiakawanan sosial, dan lambang kesetikawanan kemanusiaan.
Dengan demikian, sebagaimana makna salam secara harfiah yakni keselamatan dan
kedamaian, melalui ikrar salam itu,
kita berupaya untuk menebarkan aroma kedamaian, keselamatan, kasih sayang, dan
kesejahteraan bagi sesama umat manusia.
Maka tidak
berlebihan jika para ulama mengingatkan bahwa ucapan assalamu 'alaikum pada akhir shalat
adalah konsekuensi dari kalimat Allahu Akbar yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain, seperti halnya dualitas antara iman dan amal saleh.
Pada titik inilah,
menjadi seorang Muslim adalah menjadi seorang yang senantiasa menebarkan kedamaian,
kesejahteraan, kasih sayang, dan keselamatan baik bagi sesama kaum Muslim
maupun bagi sesama umat manusia. Itulah relevansi pesan moral Isra' Mi'raj yang
bisa kita petik bersama saat ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan
jika kita mampu menghembuskan spirit kedamaian, solidaritas sosial, toleransi,
dan kasih sayang terhadap sesama saudara-saudara kita yang berada di bawah
payung besar yang bernama Indonesia, maka secara metaforis, hakikatnya kita
telah melakukan Isra' Mi'raj yakni pengalaman pencerahan spiritual sekaligus
pencerahan sosial, semoga. wallahu 'alam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar