Kamis, 06 Juni 2013

Religion // PESAN DAMAI ISRA' MI'RAJ



PESAN DAMAI ISRA' MI'RAJ
Dr. Zaprulkhan. M.S.I-Inspiring Learner

Salah satu hadiah teragung yang Allah anugerahkan kepada kekasih pilihan-Nya, Nabi Muhammad Saw dalam peristiwa fenomenal Isra' mi'raj adalah shalat lima waktu. Lazimnya kita memandang shalat sebagai sebuah ibadah yang bersifat personal-individual semata, tentang hubungan intim kita dengan Allah Swt secara langsung. Kebanyakan kita lebih cenderung memaknai shalat hanya sebagai bentuk ibadah yang bercorak spiritual belaka tanpa mempunyai implikasi sosial. Padahal jika kita lihat secara holistik, shalat bukan hanya ibadah yang bersifat pribadi tentang pengabdian kita kepada Tuhan, tapi juga memiliki implikasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Di dalam ibadah shalat bukan hanya merepresentasikan hubungan vertikal antara seorang hamba kepada Tuhan (hablum minallah), melainkan juga mencerminkan hubungan horizontal antara sesama umat manusia (hablum minannas). Di dalam ibadah shalat terkandung pula pesan-pesan kedamaian, solidaritas sosial, dan kasih sayang universal kepada umat manusia yang sangat relevan bagi kondisi kebangsaan kita hari ini. Sebab akhir-akhir ini, bangsa kita tercabik dengan puspa ragam kekerasan demi kekerasan yang mengoyak tali persaudaraan di antara kita. Karena itu, mari kita bingkai makna ibadah shalat dalam konteks Isra' Mi'raj dengan menurunkannya secara fungsional bagi problematika yang tengah menggelayuti kehidupan berbangsa kita.
Pertama, secara simbolik, shalat mencakup aktivitas yang dimulai dengan takbiratul al-ihram, yakni mengucapkan kalimat Allahu Akbar yang merupakan pengharaman atas segala tindakan yang yang berdimensi horizontal (hablum minannas). Asumsinya, semua tindakan yang berdimensi horizontal diharamkan agar kita dapat memusatkan perhatian kita kepada Allah semata saat beraudiensi denganNya. Dengan pemusatan diri kepada Allah semata, diharapkan setiap kita bisa mencapai maqam ihsan, bahwa kita menyembah Allah seolah-olah melihatNya dan seandainya pun kita tidak mampu melihatNya, kita harus tetap yakin bahwa Dia melihat kita.
Itulah shalat yang khusyuk yakni shalat yang mampu menghadirkan kesadaran adanya komunikasi yang sangat intensif antara kita dengan Allah; Sebuah kesadaran prinsipil bahwa hanya Allah tempat kita bernaung, tempat kita memohon, tempat kita melabuhkan segala prolematikan kehidupan, sekaligus muara yang mengabulkan segala damba-damba kita. Itulah alasannya setiap gerakan dalam shalat selalu diiringi dengan kalimat Allahu Akbar. Pengulangan kalimat tersebut bermakna sebagai penegasan bahwa Dia Maha Besar tanpa bisa dibandingkan. Dia lebih besar dari penyerupaan apa pun yang dapat kita pakai untuk menyempurnakan pernyataan itu, lebih besar dari apapun dan segala sesuatu yang dapat kita bayangkan, lebih besar dari spekulasi kaum teolog atau penegasan kaum dogmatis atau formulasi para filosof, bahkan lebih besar dari yang bisa digambarkan oleh perbendaharaan kata manusia.
Dengan kesadaran sakral ini, kita mengerti bahwa jika Allah lebih besar, lebih pengasih, lebih penyayang, lebih berkuasa, lebih pemurah, lebih adil, lebih dekat dengan kita, lebih mencintai, lebih bijaksana, dan lebih mengetahui tanpa batas tentang segala fenomena kehidupan, maka bukankah hanya Allah semata tempat kita bersandar? Dalam pengertian inilah, penghayatan ibadah shalat kita benar-benar memasuki dimensi vetikal yang sangat intim, dekat, dan intensif dengan Tuhan kita.
Namun ibadah shalat kita tidak boleh hanya berhenti sampai tahapan vertikal saja, kita harus memasuki tahapan kedua yaitu tahapan horizontal. Tahapan horizontal ini diisyaratkan pada akhir ibadah shalat dengan mengucapkan salam, assalamu 'alaikum sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Ucapan salam yang kita ucapkan diakhir ibadah shalat itu mengandung makna sebagai doa untuk keselamatan terhadap orang-orang di sekitar kita. Bahkan dalam perspektif kaum sufi, ucapan salam penutup shalat itu bukan hanya verbalisme belaka, melainkan dalam lubuk hati kita benar-benar mengharapkan kesejahteraan bagi umat manusia, para malaikat-malaikat-Nya, bahkan seluruh binatang yang melata di jagad raya.
Karena itu, dalam konteks kemanusiaan, melalui ucapan salam itu setiap kaum Muslim dituntut untuk melakukan solidaritas sosial kepada orang-orang di depan dan di belakang kita, di kanan dan di kiri kita, serta kita mengharapkan kebahagiaan orang lain dan tidak rela bila hanya menikmati kebahagiaan sendirian saja. Dengan kata lain, salam penutup dalam ibadah shalat adalah lambang solidaritas sosial, lambang kesetiakawanan sosial, dan lambang kesetikawanan kemanusiaan. Dengan demikian, sebagaimana makna salam secara harfiah yakni keselamatan dan kedamaian, melalui ikrar salam itu, kita berupaya untuk menebarkan aroma kedamaian, keselamatan, kasih sayang, dan kesejahteraan bagi sesama umat manusia.
Maka tidak berlebihan jika para ulama mengingatkan bahwa ucapan  assalamu 'alaikum pada akhir shalat adalah konsekuensi dari kalimat Allahu Akbar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, seperti halnya dualitas antara iman dan amal saleh.
Pada titik inilah, menjadi seorang Muslim adalah menjadi seorang yang senantiasa menebarkan kedamaian, kesejahteraan, kasih sayang, dan keselamatan baik bagi sesama kaum Muslim maupun bagi sesama umat manusia. Itulah relevansi pesan moral Isra' Mi'raj yang bisa kita petik bersama saat ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan jika kita mampu menghembuskan spirit kedamaian, solidaritas sosial, toleransi, dan kasih sayang terhadap sesama saudara-saudara kita yang berada di bawah payung besar yang bernama Indonesia, maka secara metaforis, hakikatnya kita telah melakukan Isra' Mi'raj yakni pengalaman pencerahan spiritual sekaligus pencerahan sosial, semoga. wallahu 'alam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar