KEARIFAN PENSIL COELHO
Oleh: Dr. Zaprulkhan M.S.I Inspiring
Learner
Alkisah, seorang bocah menyaksikan neneknya sedang menulis sepucuk surat.
Seketika si bocah bertanya, “Nenek menulis tentang apa yang telah kita
kerjakan? Apakah itu cerita tentang aku?” Sang nenek berhenti menulis dan
berkata kepada cucunya: “Nenek memang menulis tentang engkau, tapi yang lebih
penting daripada cerita ini adalah pensil yang Nenek gunakan. Nenek harap,
ketika dewasa nanti engkau akan seperti pensil ini” Si bocah memandang pensil
itu. Tak ada yang istimewa. “Tapi, nek, ini tak beda dengan pensil-pensil lain
yang pernah kulihat”
“Itu tergantung bagaimana engkau memandang sesuatu”, sahut sang Nenek.
Pensil ini, punya lima keistimewaan yang jika engkau kelola dengan baik, akan
menjadikanmu seorang yang senantiasa berdamai dengan dunia. Pertama, engkau berbakat menghasilkan
sesuatu yang hebat, tapi jangan pernah lupa bahwa ada tangan yang membimbing
langkahmu. Kita sebut itu tangan Tuhan, dan Dia senantiasa membimbing kita
sesuai dengan kehendakNya. Ya, setiap kita merupakan masterpiece Tuhan yang telah dititipi kekuatan khas untuk
menghasilkan karya kehidupan sesuai dengan kekuatan khas kita masing-masing.
Namun ketika kita telah mampu menghasilkan mahakarya sebanyak apapun, kita
harus tetap rendah hati untuk melabuhkan semua kehebatan kreativitas karya kita
kepada Tuhan sebagai sumber kreativitas kita.
Kedua, sekarang dan nanti, Nenek harus berhenti menulis dan
menggunakan sebuah rautan. Itu akan membuat pensil ini sedikit menderita, tapi
setelah itu ia akan lebih tajam. Engkau juga begitu, harus belajar menahan rasa
sakit dan derita, sebab semua itu akan membuat engkau menjadi pribadi yang
lebih baik. Wisdom comes from suffering,
bahwa kebijaksanaan hidup seringkali menyapa kita melalui penderitaan. Secara
metaforik, penderitaan itu
laksana badai pawana yang menghancurkan bunga-bunga yang kering dan layu untuk
menumbuhkan tunas-tunas baru yang indah menawan dan mempesona. Atau bagaikan
ratapan musim gugur yang menakutkan, menggelisahkan, dan mencemaskan, namun di
baliknya tersembunyi senyuman musim semi yang amat melegakan, menyenangkan,
sekaligus menggairahkan.
Ketiga, pensil ini selalu mengingatkan kita agar menggunakan
penyetip untuk menghapus kesalahan. Artinya, mengoreksi segala yang telah kita
lakukan bukanlah hal buruk, dan akan membantu menjaga kita tetap pada jalan
menuju keadilan. Karena tak
seorang pun di antara kita yang steril dari kesalahan dan dosa, maka kita mesti
bersedia meminta maaf atas kesalahan-kesalahan kita kepada orang lain dan
senantiasa memohon ampun kepada Tuhan. Selain itu, kita juga harus bersedia
mengoreksi kelemahan karya kita untuk perbaikan terus menerus secara maksimal.
Keempat, apa yang sesungguhnya berarti dari sebatang pensil
bukanlah kayu bagian luarnya, melainkan grafit yang berada di bagian dalam. Maka
selalu perhatikan apa yang terjadi di dalam dirimu. Wadak fisikal tubuh kita memang penting, tapi
jangan lupa bahwa akal, mental, dan jiwa (spiritual) yang bertahta dalam diri
kita jauh lebih penting. Maka sudah selayaknya kita merawat kapasitas akal, mental,
dan spiritual kita dengan ilmu pengetahuan, kearifan hidup, dan pengabdian
kepada Sang Pencipta.
Terakhir, pensil selalu meninggalkan jejak. Dengan cara yang
sama, engkau mesti tahu bahwa apa pun yang engkau lakukan dalam hidup akan
meninggalkan jejak, maka sadarilah setiap tindakanmu. Karena apapun yang kita lakukan selalu
meninggalkan jejak dan satu saat putaran sang waktu akan menutup layar
kehidupan kita, maka kita harus sering-sering menggulirkan sebuah pertanyaan
reflektif kepada diri kita masing-masing: Apakah saya tengah merenda lukisan
kehidupan yang penuh makna bagi saya sekeluarga dan umat manusia, atau apakah
saya sedang melukis wajah kehidupan yang sia-sia bagi saya sekeluarga dan umat
manusia?
Kisah manis ini dituturkan oleh Paulo Coelho, seorang penulis novel-novel best
seller tentang petualangan manusia dalam menemukan jati diri, makna hidup, dan
pencerahan spiritual yang saya perkaya sekaligus pertajam pesan moralnya.
Melalui kisah tersebut, Coelho mengajarkan kita bahwa sebatang pensil dapat menjadi
perumpamaan dalam mengukir karakter mulia. Ternyata kita sebagai insan yang
bernalar ini, bisa belajar kearifan hidup dari sebatang pensil yang bisu bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar